Jumat, 15 April 2011

Jalaludin Rumi



MENGHAMPIRI SOSOK JALALUDDIN AL-RUMI
(Menyelami Dimensi Lahiriah dan Bathiniah Rumi)

A. Pendahuluan
 
Para sufi tidaklah sekedar menukil orang-orang Persia, Kristen, Yunani atau lainnya; karena tasawuf pada dasarnya, berkaitan dengan perasaan dan kesadaran. Jiwa manusia adalah satu, sekalipun terdapat perbedaan bangsa atau rasnya. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan rohaniah, memang saja bisa sama, meskipun tidak terdapat kontak di antara keduanya. Ini berarti adanya benang merah di antara pengalaman para sufi, betapapun berbedanya interpretasi antara seorang sufi yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan beragamnya budaya dimana ia hidup.
 
Tasawuf atau sufisme adalah suatu ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Dengan demikian, seorang sufi senantiasa mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada di hadirat Tuhan. Dengan kata lain, bahwa intisari dari sufisme ialah kesadaran akan komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan kontemplasi.
Adapun kesadaran berada dekat dengan Tuhan dapat mengambil berbagai bentuk sesuai dengan kondisi sufi itu sendiri. Yakni bisa berbentuk ma'rifah, mahabbah, ittihad, hulul maupun wihdah al-wujud.
 
Untuk mencapai tujuannya (yakni berada dekat dan bersatu dengan Tuhan), seorang sufi harus menempuh jalan panjang, di antaranya melalui al-zuhd, yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian, atau kata lain, meninggalkan keramaian dan mengasingkan diri dari pergaulan manusia, bahkan juga tak mau lagi berhubungan dengan manusia yang dirasa tak lagi bermanfaat, apalagi jika dapat menggangu dirinya untuk bercengkerama dengan Tuhan. Karena itu, banyak tuduhan ditujukan pada para sufi, bahwa kaum sufi lebih cenderung bersikap fatalistis dan dianggap sebagai biang keladi kemunduran Islam.
Sungguhpun demikian, banyak pula kita jumpai tokoh-tokoh sufi yang amat peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar dan mau menyumbangkan gagasan-gagasan kemanusiaan yang mendasar, sekalipun oleh kelangsungan masa mereka terdesak ke latar belakang kesejarahan. Satu di antara sekian banyak tokoh tersebut adalah seorang sufi yang akan menjadi figur utama dalam tulisan ini, yakni Jalaluddin Rumi.
Dilihat dari luasnya wawasan dan tajamnya penglihatan pandangannya, dari tema-tema universal yang diangkat dalam setiap baris karyanya dan dari cara mengungkapkan pikiran dalam bahasa puisi yang sarat simbol, tak pelak lagi bahwa Rumi adalah seorang jenius dengan pikiran dan otak brilian. Dengan visinya yang tajam, ia mampu menerobos dinding zamannya dan mendahului beberapa abad gagasan-gagasan humanistis para pemikir besar dunia yang datang kemudian.
Makalah ini memaparkan biografi secara singkat, yang diungkapkan melalui bait-bait syair dan puisi, di mana oleh sementara orang ia dianggap sebagai pelopor yang menghidupkan kembali semangat keagamaan kaum Muslimin dan berusaha membuang jauh-jauh kesan yang selama ini merusak citra para sufi yang dianggap sebagai fatalis. Sebaliknya, ia mengetengahkan gagasan-gagasan yang penuh dinamika yang mendorong manusia untuk senantiasa berbuat, berkarya dan bekerja keras untuk menunaikan tugas kemanusiaannya yang amat berat.

B. Biografi Jalaluddin al-Rumi
 
Jalaluddin al-Rumi (604-672 M) dipandang sebagai salah seorang penyair sufi Persia yang terbesar. Memang benar bahwa sebelum dan setelahnya pun di Persia banyak terdapat para penyair sufi, namun puisinya dan makna-makna kedalaman mistis yang dikandungnya mengungguli puisi mereka semua.
Di antara para penyair yang sebelumnya ialah Abu Said ibn Abu al-Khair al-Khurasani (357-440 H), yang banyak mengubah ruba’iyyat (kuatrin) dalam perpuisian sufi; Abdullah al-Anshari (meninggal tahun 481 H), yang menggubah sebuah diwan dalam perpuisian sufi dan Majduddin Sana’i al-Ghaznawi (meninggal tahun 545 H), yang menggubah sebuah matsnawi yang dikenal Taman Hakekat (Hadiqah al-Haqiqah) maupun gubahan-gubahan lainnya. Menurut Qasim Ghani, matsnawinya tersebut dari segi kata maupun maknanya dipandang sebagai salah satu model yang indah dan langka dalam bahasa Persia. Dan ini adalah contoh puisi terbaik dari segi kebeningan dan komposisinya. Juga fariduddin al-‘Aththar (meninggal tahun 586 H), yang mempunyai karya kurang lebih sebanyak empat puluh buah, adalah tokoh penyair sufi yang paling menonjol setelah (di bawah) Jalaluddin al-Rumi.
Mengenai puisi para penyair Persia ini, ‘Abdul Wahab Azzam berkomentar sebagai berikut: “Dalam hal ini para penyair Persia memang berhasil mencapai taraf yang memmbubat heran dan kagum para penyair dari bangsa-bangsa lain. Mereka mengemukakan berbagai makna yang tampak jelas, tersembunyi, agung dan terinci, dalam berbagai bentuk yang mengagumkan dan menarik hati. Hal ini karena mereka memang menerima karunia begitu besar. Sifat sufi mereka begitu produktif serta sulit bisa termuat dalam bait-bait, lembaran-lembaran, maupun buku-buku. Sehingga seorang pembaca terkadang heran, bagaimana makna-makna tersebut bisa tampak jelas oleh mereka dan bagaimana mereka mampu mengembangkan satu makna menjadi beraneka makna. Dan bagaimana dari masing-masing makna tersebut mereka kembangkan lagi dalam berbagai bentuk yang mengagumkan, sehingga seakan kesemua itu bunga-bunga yang sedang mekar. Padahal warnanya, bentuknya, airnya dan tanahnya satu.
Jalaluddin al-Rumi nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad ibn Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi, lahir 6 Robiul Awwal 604 H (30 September 1207 M) di Balkh. Dia digelari al-Rumi karena dinisbatkan pada kawasan Rum, dimana dia melewatkan sebagian besar kehidupannya. Ayahnya, Muhammad adalah  seorang faqih penganut madzhab Hanafi. Karena kedudukannya yang tinggi, ayahnya digelari Sulthan al ‘Ulama (Sultan Para Ulama) dan dikenal pula sebagai Sulthan Walad. Pada tahun 609 H ayahnya sekeluarga meninggalkan Balkh, ketika Jalaluddin al-Rumi baru lima tahun dan hiduplah berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Di Nishapur keluarga ini bertemu dengan Fariduddin al-‘Aththar. Sebagian riwayat menuturkan ‘Aththar menimang-nimang Jalaluddin kecil serta meramalkan bahwa anak kecil tersebut kelak akan menduduki posisi tinggi dalam tasawuf. Selanjutnya keluarga ini pindah ke Malthiyah dan tinggal di sana selama empat tahun. Setelah itu mereka ke Laranda (kini Kerman) dan menetap di sana selam tujuh tahun. Dari Laranda lalu pindah ke Qunyah, yang ketika itu menjadi ibukota dinasti Saljuk di Asia kecil, dengan sultannya ‘Ala’uddin al-Saljuki. Di kota inilah ayahnya meninggal, tahun 628 H.
Ketika ayahnya meninggal tahun 1230 M, Rumi diangkat sebagai ganti ayahnya untuk mengajar di Madrasa-i-uba'iyyat (Khudavandgar), dan sebagai penasihat para sarjana dan mahasiswa. Selain itu, ia juga berubah profesi sebagai penyiar agama. Dari ayahnya itulah Rumi memperoleh berbagai ilmu pengetahuan jamannya, terutama ilmu kalam yang cukup mempengaruhi pola pemikiran teologinya, disamping ketekunan belajarnya di berbagai tempat dan kota serta dengan beberapa tokoh besar lainnya.
Dari ayahnya itulah Rumi memperoleh berbagai ilmu pengetahuan jamannya, terutama ilmu kalam yang cukup mempengaruhi pola pemikiran teologinya, disamping ketekunan belajarnya di berbagai tempat dan kota serta dengan beberapa tokoh besar lainnya.
Jalaluddin pada awal pertamanya adalah belajar kepada ayahnya. Lalu kepada salah seorang sahabat ayahnya, Burhanuddin Muhaqqiq al-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Jalaluddin sendiri bahwa dia pergi ke Syams atas saran gurunya tersebut dan tinggal di sana selama beberapa tahun. Ketika itu di Damaskus tinggal seorang sufi besar, yaitu Muhyiddin ibn ‘Arabi. Namun riwayat-riwayat yang ada tidak sekali-sekali menuturkan pertemuan Jalaluddin al-Rumi dengan Ibn ‘Arabi. Setelah Burhanuddin Muhaqqiq meninggal dunia, al-Rumi pun menggantikannya sebagai guru di kota Qunyah.
Dalam fase kehidupannya ini al-Rumi menjadi seorang da’i dan faqih dan dia belum menggubah puisi serta belum lagi mengikuti suatu tarikat sufi. Pertemuannya dengan Shams-i Tabriz, seorang penyair sufi pengelana, tahun 652 H, justru menjadi arah pada kehidupan asketis dan tasawuf, meniggalkan pekerjaannya sebagai guru dan mulai menggubah puisi. Salah satu karyanya, Diwan Shams-i Tabriz, merupakan memorial bagi gurunya tersebut.
Pertemuan pertama Maulana dengan seorang darwisy yang bernama Syamsuddin Tabriz (Syamsuddin, berarti matahari agama) merupakan hal yang signifikan dalam hidupnya. Bagi Rumi Syams adalah matahari yang luar biasa, matahari yang mengubah seluruh hidupnya, membakarnya, membuatnya menyala dan membawanya ke dalam cinta yang sempurna. Pernahkah dia memimpikan matahari serupa itu? Sebuah syair berbunyi:

Citra impianmu ada di dada kami
Sejak fajar kami sudah dapat merasakan sang surya.

Jalaluddin dan Syams tak terpisahkan lagi, mereka menghabiskan hari bersama-sama dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, ketika bersama-sama menuju Cinta Tuhan.

Wajahmu bak sang mentari, Wahai Syamsuddin
Yang dengannya hati berkelana bagai awan!

Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.
Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams.
Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi. "Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk ratapan Rumi atas kehilangan Syams," jelas Talat.
Semua orang tahu bahwa keluarga Rumi maupun murid-muridnya tidak suka dengan perkembangan ini. Bagaimana mungkin guru besar mengabaikan tugas mengajar dan keluarganya? Bagaimana mungkin dia membicarakan masalah-masalah agama dengan seorang darwisy tak dikenal, yang tingkatannya dalam rantai mistikal inisiasi tidak diketahui oleh seorang pun? Apakah ini bukan sutu skandal besar? Apalagi darwisy yang sombong itu barangkali tidak mau repot-repot dengan kecintaan penduduk Konya kepada dirinya, yang pada gilirannya tidak suka melihat pengaruhnya pada Maulana? Syams pasti telah merasakan bahwa saat itu sedang berkembang niat jelek. Pada suatu hari ia pun menghilang dengan misterius; semisterius kedatangannya.

Namun, tiba-tiba muncul kecemburuan Tuhan
Dan mulut-mulut menjadi kasak kusuk
·    Kata Sultan Walad (VN 12)

Jalaluddin merasa patah hati. Karena tepisah dari mataharinya, apa yang dapat dilakukannya? Namun, pada saat inilah dia mulai berubah; dia menjadi seorang penyair, mulai mendengarkan musik, bernyanyi, berputar-putar, selama berjam-jam. Dia sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi.
Dengan harapan yang tak mungkin terjadi, Maulana pergi ke Syiria. Akan tetapi kemudian “dia menemukannya dalam dirinya bersinar bak rembulan”.

Ia berkata: 
“Karena aku adalah dia,
apa gunanya mencari?
Aku sama dengan dia, zatnyalah yang berbicara!
Sebenarnya yang kucari adalah diriku sendiri, itu pasti.
Yang meragi dalam tong, bak air anggur.


Suatu keadaan jati diri yang mutlak telah dicapai dan bila dalam syair-syair yang terdahulu nama Syamsuddin selalu muncul di tengah-tengah syair, kini nama tersebut muncul sebagai takhallus, nama samaran yang dipakai Maulana untuk menandai puisi-puisinya yang penulisannya diilhami oleh hilangnya sahabat karib yang disayanginya yang akhirnya ditemukannya dalam dirinya sendiri. Sebelumnya dia telah menyadari bahwa dia tak dapat lagi menyembunyikan nama Syams dan merasa bahwa semesta Alam memuji sahabatnya:

Aku terus bernyanyi bersama orang lain
Syamsuddin dan Syamsuddin,
Bul-bul di taman-taman pun ikut bernyanyi,
ayam hutan di pebukitan

Begitulah perjalanan Maulana bersama seseorang yang telah mengubah seluruh hidupnya, membakarnya, membuatnya menyala dan membawanya ke dalam cinta yang sempurna. Dan kemudian perjalanannya tak sesingkat itu, lalu ia pun menyambung perjalanan dengan  guru yang lain.
Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah.

C. Jalaluddin Rumi dan Karya-Karyanya
 
Puisi merupakan media ekspresi yang sangat penting bagi sufi dalam menyampaikan pengalaman cinta transendental mereka. Para sufi yakin bahwa keindahan sebuah puisi yang dalam memiliki kekuatan yang dapat membawa seseorang menuju alam hakekat dan bersatu dengannya. Karena itu Rumi menyatakan bahwa puisi adalah kias tentang alam keabadian dan kandungannya berupa hikmah yang dipetik di Taman Mawar Ilahi. Hikmah, sebagai salah satu bentuk dari keindahan spiritual tinggi, yang dapat dicapai oleh seorang penyair, terkait dengan keindahan lahir yang ditangkap oleh panca indera semaa-mata. Rumi adalah termasuk tokoh sufi yang produktif. Di samping sebagai juru da'i dan guru, dia juga aktif menulis karya-karya sufisme yang mayoritas berbentuk sya'ir atau prosa. Karena itu, wajarlah jika ia dijuluki sebagai sufi-penyair besar.
Secara ringkas, karya-karya Jalaluddin Rumi dapat diklasifikasikan menjadi 6 buah karya; 3 karya besar dan 3 karya yang relatif kecil. Adapun karya besarnya adalah sebagai berikut:
1. Maqalat-i Syams-i Tabriz (wejangan-wejangan Syam Tabriz). Karya ini berisi tentang dialog- dialog mistis antara Syam Tabriz sebagai guru dan Rumi sebagai murid.
2. Divan-i Syams-i Tabriz (lirik-lirik Syams Tabriz). Karya ini disusun Rumi saat ia berpisah dengan gurunya Syam Tabriz, yang berisi pujaan disamping untuk mengenang guru sekaligus sahabat yang dicintainya.
3. Masnav-i Ma'nawi (Matsnawi Jalaluddin Rumi). Karya ini berisi ajaran-ajaran pokok Tasawuf Rumi yang sangat mendalam. Para pengikut Rumi menganggapnya sebagai penyibak makna batin al-Qur'an. Karya ini ia sampaikan dalam bahasa puisi yang kreatif melalui apologi, anekdot dan legenda.
Karya sastra Rumi bisa dibilang sangat jamak; dalam bukunya Diwan-i Syams-i Tabriz terdapat kurang lebih 2500 lirik; dalam Masnawi sekitar 25.000 bait syair; dan Ruba'iyyat (syair empat baris) yang kira-kira 1600 barisnya adalah asli. Terjemahan dari Matsnawi ada dalam bahasa-bahasa timur (Arab, Turki, Urdu, Sindhi, Panjabi, sebagian dalam Bengali dan Pashto.
Diwan Jalaluddin al-Rumi yang terkenal adalah, dipandang begitu besar pengaruhnya, sehingga telah banyak ditulis komentar, baik yang bahasa Persia, Turki maupun Arab tentang karya ini dan sebagian isinya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Selain itu, Rumi menulis lebih dari 70.000 bait syair memabukkan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh kaum Muslim Parsi. Dia terus menerus melantunkan kepedihan perpisahan dari sang Kekasih dan kebahagiaan bersatu dengan-Nya.

Rumi menamakan karyanya Matsnawi sebagai kedai tauhid dan kefakiran dan juga tangga naik menuju kebenaran hakiki. Menurut Rumi, “Matsnawi adalah sorga kalbu, dengan berbagai mata airdan pohon-pohon yang rimbun. Di antaranya disebut kolam Salsabil oleh para salik; dan dalam pandangan mereka yang telah mencapai maqam tertinggi, Matsnawilah maqam terbaik dan tempat perhentian jiwa paling utama”. 
Sedangkan karya Rumi yang relatif kecil antara lain:
1.  Ruba'iyyat. Karya puisi Rumi yang disampaikan dalam bentuk Kuatrin (sajak 4 baris).
2. Maktubat (Korespondensi). Karya ini merupakan kumpulan surat-surat Rumi yang ditujukan kepada dan untuk membalas rekan-rekan atau para pengikutnya.
3. Fihi Ma Fihi (Di dalam apa yang ada di dalam). Karya ini merupakan ceramah tasawuf Rumi kepada para pengikutnya yang tergabung dalam tarekatnya.
Dalam karya yang satu ini merupakan curahan isi hati Rumi, kemarahannya terhadap reaksi orang-orang disekitarnya: “Bukannya menyatakan rasa syukurnya atas kehadiran pemimpin spiritual yang luar biasa itu di tengah-tengah mereka, malah mereka memberikan komentar-komentar yang negatif.


D. The Spiritual Teaching of Rumi
 
Dalam tahun-tahun setelah meninggalnya istrinya yang pertama, Maulana menikah lagi. Kira Khatun berlatar belakang Kristen. Para penulis biografi memujinya karena ketakwaannya dan melihat “Maryam yang kedua” dalam dirinya. Kira menghadiahkan dua orang anak kepada suaminya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan. Maulana merayakan kehadiran-kehadiran bunga-bunga ini di taman ‘Dunia” dengan lagu-lagu dan tari-tarian ekstatis. Pada tahun ini, awal tahun 1250-an, Maulana semakin menampakkan dirinya sebagai guru, walaupun penanya masih terus menghasilkan syair.
Jumlah muridnya bertambah dan beberapa pengikutnya dari kelas atas menyalahkan Maulana kenapa menerima murid dari segala kelas sosial, termasuk wanita yang cukup banyak jumlahnya. Walaupun dia ntidak menekankan kelas sosial, tapi dia menekankan perilaku yang baik (adab).
Ketika Maulana sedang mengajar dan menulis, menyanyi dan berdo’a, menguasai keluarga dan siswa-siswanya, para muridnya mulai melakukan pendekatan terhadapnya agar menyusun suatu karya mistis Matsnawi, seperti buku-buku Sana’i dan Aththar (yang pada waktu itu mereka mempelajarinya bersamanya). Murid kesayangan Maulana< Husamuddin Syalabi, putra sebuah keluarga kelas menengah yang terhormat di Konya, meminta sang guru untuk menulis sebuah puisi didaktik untuk kepentingan para murid. Konon Maulana menanggapinya dengan membacakan selapan belas puisi pertama dari Matsnawi, yang menjadi terkenal dengan nyanyian Seruling Buluh. Dia berceita tentang kerinduan seruling kepada tempat tumbuhnya buluh dan bagaimana suaranya mengingatkan hati manusia kepada tempat asalnya, yaitu kehadiran Ilahiah.

Dimanakah aku, dimanakah puisi?
Tetapi orang Turki itu membisikku:
Hai, siapakah engkau?

Bait di atas, yang ditulis dalam bahasa Turki, mengungkapkan Sikap Maulana terhadap syairnya sendiri: dia tidak sepenuhnya mengerti bagaimana dia bisa menjadi seorang penyair. Pernyataan yang bersifat tidak menghendaki, yang ada dalam Fihi ma fihi, yang mengatakan bahwa dia menulis syair guna menghibur sahabat-sahabatnya, seolah-olah, “seseorang harus mencuci tangannya denga cara memasukkannya ke dalam daging babat karena tamu-tamunya ingin makan babat”, benar-benar mengejutkan, karena kata-kata itu keluar dari seseorang yang telah menulis hampir empat puluh ribu syair liris dan lebih dari dua puluh ribu baris syair didaktik. Tetapi harus diingat bahwa puisi, bagi banyak orag Islam yang taat, adalah sesuatu yang hampir-hampir dianggap amoral.
Bukankah pada Al-Qur’an pada surah 26 ayat 224-226 memperingatkan para penyair “yang mengembara ke setiap lembah dan tidak mengerjakan apa yang mereka katakan?” Karena puisi pada zaman pra-Islam pada umumnya sering berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan seperti minuman anggur dan percintaan bebas. Dari sinilah Maulana mengutuk puisi sebagai suatu profesi yang paling menjijikan di negerinya. Namun sejak Cinta mencuri hati Maulana “bagaikan seekor burung elng yang menggondol seekor burung kecil,” Maulana juga para Sufi lainnya, tidak mempunyai pilihan lain. Dan seperti para sufi dari berbagai tradisi religius, Maulana mengetahui bahwa pengalaman tertinggi hati, ekstase, bersatu padu dengan Tuhan Tecinta, hilangnya kesadaran dalam pelukan spiritual, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata manusia dan yang tak kalah pentingnya hal ini tidak boleh diungkapkan agar tidak terjadi salah paham pada orang yang belum ditahbiskan. Ayahnya telah mencoba mengungkapkan rahasia keadaan paling dekat dengan Tuhan dengan istilah-istilah yang mengejutkan beberapa orang yang membaca buku hariannya.
Namun, pengalaman spiritual sangatlah kuat hingga perlu diungkapkan, walau dengan kata-kata yang miskin, dalam paradoks yang tampaknya tak berarti sehingga, Maulana merasa, sepereti “debu di cermin Jiwa”. Namun demikian setelah syair-syair pertama yang keluar dari bibirnya, maka segera mengalir arus syair yang hampir-hampir tak terhentikan, yang lahir dari suara musik, dalam tarian berputar, yang ke tarian inilah Cinta yang kukuh menyeretnya dalam keadaan tak sadar, namun tidakkah mengherankan bahwa puisi yang dengan demikian terlahir dalam inspirasi itu benar-benar serasi dengan aturan-aturan retorika gaya Arab-Persia klasik? Sama sekali tidak. Maulana, seperti juga semua orang terpelajar di dunia Islam abad pertengahan, telah hapal ayat-ayat al-Qur’an dan mengetahui sejumlah hadits Nabi (Muhammad Saw.), karena itu dia selalu siap untuk memasukkan kutipan-kutipan ayat al-Qur’an atau hadits dalam setiap syairnya.
Dan ini bukan saja dikarenakan oleh berkecimpungnya dia dalam bidang teologi; namun juga, selain teologi, dia pun mempelajari karya-karya prosa yang bersifat agamis dan non agamais dalam bahasa Arab dan Persia serta banyak lagi karya-karya puisi lainnya.
Minatnya yang utama tampaknya adalah puisi Arab klasik. Qashidah-qashidah Mutanabbi yang memukau (wafat pada 965 H) adalah buku yang paling disukainya. Dikisahkan bahwa Syams sama sekali tidak menyukai puisi-puisi itu dan mengungkapkan ketidaksukaannya ini kepada sahabatnya dalam suatu mimpi yang aneh di mana Syams mengguncang-guncangkan Mutanabbi yang tua itu bagaikan boneka usang. Namun masih saja orang mendapati kiasan-kiasan dan kutipan-kutipan yang berasal dari Mutanabbi dalam syair-syari Maulana dan juga dalam Fihi ma fihi, seperti dalam syair penutup dari sebuah ghazal berikut ini:

Simpanlah kata-kata Persiamu, aku akan berucap
dalam bahasa Arab:
Jiwa kita dihibur oleh anggur”.

Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa karya-karya Rumi mayoritas berbentuk sya'ir, maka untuk melacak dan mengetahui lebih jauh karakteristik sufisme Rumi perlu juga dilakukan analisa terhadap karya-karya tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:

"Wahai kegilaan yang membuai, Kasih !
Engkau Tabib semua penyakit kami !
Engkau penyembuh harga diri,
Engkau Plato dan Galen kami !

Dalam hal ini, Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa Rumi masuk ke dalam madzhab Realitas Utama Sebagai Keindahan, sebagaimana Ibn Sina, yang pembawaannya terletak dalam melihat "wajah-Nya sendiri yang tercermin dalam cermin alam semesta". Karena itu, alam semesta ini bagi mereka berdua merupakan pantulan "Keindahan Abadi" dan bukan suatu emanasi seperti yang diajarkan oleh Neo-Platonisme. Juga, menurut Mir Sayyid Syarif, penyebab penciptaan ialah manifestasi keindahan, dan penciptaan yang pertama ialah cinta. Wujud Keindahan ini dihasilkan oleh cinta kasih semesta, yang instingtif-bawaan. Zoroaster dari Sufi Persia senang mendefinisikannya sebagai "Api Kudus yang membakar segalanya kecuali Tuhan".
Ekspresi-ekspresi sufisme sering berpegang pada keseimbangan antara cinta dan pengetahuan, suatu bentuk ekspresi emosional yang lebih mudah memadukan sikap keagamaan yang merupakan titik awal setiap kehidupan kerohanian Islam. Begitu pula yang dilakukan oleh Jalaluddin Rumi, ia mengekspresikannya dalam bahasa cinta. Hal itu dapat ditemukan dalam sya'irnya yang lain:


Aku adalah kehidupan dari yang kucintai
Apa yang dapat kulakukan hai orang-orang Muslim ?
Aku sendiri tidak tahu.
Aku bukan orang kristen, bukan orang Yahudi, bukan orang Magi, bukan orang Mosul,
Bukan dari Timur, bukan dari barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Bukan dari tambang Alama, bukan dari langit yang melingkar,
Bukan dari bumi, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Bukan dari singgasana, bukan dari tanah, dari eksistensi, dari ada,
Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqsee,
Bukan dari kerajaan-kerajaan Irak dan Kurasan,
Bukan dari dunia ini atau yang berikutnya; dari syurga atau neraka,
Bukan dari Adam, Hawa, taman-taman syurgawi, atau firdausi,
Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak,
Bukan raga atau jiwa; semua adalah kehidupan dari yang kucintai.

Dalama kenyataannya, perbedaan antara jalan pengetahuan dan jalan cinta bermuara pada masalah keunggulan salah satunya atas lainnya, meskipun sebenarnya tidak pernah ada pemisahan sepenuhnya antara kedua modus rohani tersebut. Pengetahuan tentang Tuhan selalu memikirkan cinta, sementara cinta mengisyaratkan adanya pengetahuan mengenai obyek cinta, walaupun itu hanya merupakan pengetahuan langsung dan renungan.
Obyek cinta rohani adalah keindahan Tuhan yang merupakan suatu aspek dari ketakterbatasan Tuhan, dan melalui obyek ini rasa cinta menjadi terang dan jelas. Cinta yang penuh dan terpadu berputar mengelilingi sesuatu titik tunggal yang tak terlukiskan, Allah Swt.
Selanjutnya menurut Rumi, cinta lebih tinggi dari kecemasan, hal ini dapat kita fahami dalam syairnya:

Sang Sufi bermi'raj ke 'Arsy dalam sekejap, sang zahid membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan.
Meskipun bagi sang zahid, sehari bernilai besar sekali, namun bagaimana satu harinya bisa sama dengan lima puluh ribu tahun ?
Dalam kehidupan sang Sufi, setiap hari berarti lima puluh ribu tahun di dunia ini.
Cinta (mahabbah), dan juga gairah cinta ('isyq) adalah sifat Tuhan, takut adalah sifat hawa nafsu dan birahi.
Cinta memiliki lima ratus sayap, dan setiap sayap membentang dari atas syurga di langit tertinggi sampai di bawah bumi.
Sang zahid yang ketakutan berlari dengan kaki, para pecinta Tuhan terbang lebih cepat dari pada kilat.
Semoga Rahmat Tuhan membebaskanmu dari pengembaraan ini!, tak ada yang sampai kecuali rajawali yang setialah yang menemukan jalan menuju sang Raja.

Menurut Annemarie Schimmel, kekuatan Rumi adalah cintanya, suatu pengalaman cinta dalam makna manusiawi tetapi sama sekali didasarkan pada Tuhan. Ia merasa bahwa dalam setiap do'a ada rahmat Ilahi, dan ia membukanya sendiri rahmat Ilahi itu. Beserta dengan kehendak Ilahi, ia menemukan pemecahan bagi teka-teki taqdir dan mampu menjulang ke puncak kebahagiaan dari kesedihan yang paling dalam karena perpisahan. Hal ini diungkapkannya dalam sebuah syair:
"Aku terbakar, dan terbakar dan terbakar"

Selanjutnya, Schimmel mengatakan bahwa Rumi telah mengalami keindahan dan keagungan Ilahi dengan seluruh indranya. Pengalaman indrawi terpantul kuat dalam sajaknya, dan dalam sajak itu selalu terjaga keseimbangan antara pengalaman indrawi dan kasih Ilahi, sebagaimana berikut:

Lewat Cintalah semua yang pahit akan jadi manis,
Lewat cintalah semua yang tembaga akan jadi emas,
Lewat cintalah semua endapan akan jadi anggur murni,
Lewat cintalah semua kesedihan akan jadi obat,
Lewat cintalah si mati akan jadi hidup,
Lewat cintalah Raja jadi budak.

Dalam suatu kesempatan, Rumi pernah mengatakan bahwa hingga hari kebangkitan pun kita tidak mungkin bisa berbicara secara memadai tentang wajah cinta. Sebab, menurutnya, mana mungkin mengukur samudera dengan piring.
Dari beberapa syair Rumi tersebut, kita memperoleh pemahaman bahwa pemahaman atas Tuhan beserta alam semesta hanya mungkin lewat bahasa cinta, bukan semata-mata dengan kerja dan usaha yang bersifat fisik lahiriyah.


E. Kesimpulan
 
Dari liriknya di atas tampak jelas bahwa Jalaluddin al-Rumi adalah seorang penyair yang begitu diliputi perasaan cinta, yang mengantarnya kepada kefanaan ataupun penyaksian kesatuan.  Tema universal yang terkandung dalam karya-karyanya, membuat Rumi mendapat tempat khusus di hati masyarakat dunia. Tidak hanya bagi pemeluk Islam, tapi juga pememluk agama Nasrani, Yahudi dan Zoroaster. Menurutnya, semua insan di dunia harus dipandang adil dan sama.
Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273 atau tepat pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H, penggagas tarian sufi ini pergi ke haribaan Ilahi, meninggalkan ribuan karya-karyanya yang fenomenal.  Rumi tak pernah berhenti menari, karena dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai.
 
Dialah, Jalaluddin Rumi telah berhasil membuat corak lain dalam ajaran tasawuf yang lebih menyentuh batin manusia, karya-karyanya pun tetap hidup sepanjang peradaban manusia, karya-karyanya pun tetap hidup sepanjang peradaban manusia. Jika ingin berbicara jujur, bahwa di tengah-tengah perhelatan modern saat ini, ternyata manusia sangat haus dengan spiritualitas. Maka jalan menuju spiritualitas bisa diraih melalui kajian-kajian tasawuf. Lalu, bagaimana dengan diri kita? Sudah terbiasakah lidah kita menari dengan irama dzikir kepada Allah SWT?

3 komentar: