Minggu, 24 April 2011

Berbadan Cahaya

MANUSIA BERBADAN CAHAYA

Kultivasi sama dengan evolusi atau transformasi. Pada kupu-kupu disebut juga metamorfosis. Energi Kultivasi adalah energi natural yang berevolusi menjadi energi pemurnian. Energi kultivasi memiliki fungsi untuk memurnikan tujuh lapis tubuh manusia ; tubuh fisik, psikis, atau emosi, mental, intuisi, atma, cahaya (monade) maupun tubuh spiritual.

Tubuh manusia yang telah terlatih di dalam metode kultivasi akan berubah struktur molekuler bio kimianya. Tubuh ini akan memancarkan cahaya aura yang gilang gemilang. Bahkan dalam tingkat yang sempurna akan bisa merubah tubuhnya jasmaninya menjadi Tubuh Energi (Cahaya) sebagaimana yang terjadi pada Nenek Guru Kita Nabi Muhammad SAW.

Mengenai Tubuh Cahaya ini juga sudah di isyarohkan oleh nabi Muhammad SAW.

Nabi SAW bersabda, “Manusia melewati titian akhirat menurut kadar cahaya (nur) yang dimilikinya. Cahaya itu bertambah setiap kali amal shalih yang dimiliki kaum beriman bertambah. Di antara mereka ada yang berjalan (melewati titian itu) seperti meluncurnya bintang-bintang, ada yang sekedipan mata, ada yang seperti hembusan angin, atau laki-laki kuat yang berjalan cepat. Mereka melewatinya menurut kadar amal perbuatannya masing-masing.”diriwayatkan Ibnu Mas’ud,

EVOLUSI SPIRITUAL
“Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaanNya), maka Alloh mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketaqwaannya. “ (asy-Syams:7-10)► JALAN PENYEMPURNA'AN JIWA (Evolusi Spiritual)

Pencerahan Ruhaniyyah hanya didapatkan dengan evolusi spiritual, yaitu peningkatan spiritualitas dari maqom kehidupan yang berorientasi jasmaniah menuju kehidupan yang berorientasi Ruhaniyah. Hal ini dimaksudkan untuk perluasan kesadaran menuju kesadaran yang lebih tinggi dari sekedar kesadaran sebagai makhluk fisik. Kesadaran ruhaniyyah, yaitu kesadaran bahwa manusia tidak sekedar makhluk fisik-jasmaniah.

Nurun 'Ala Nurun adalah energi kultivasi yang di gunakan oleh kalangan spiritualis Islam (Tharekat Tasawuf) untuk mengevolusikan spiritualitasnya. Energi ini bukanlah energi hasil buatan ataupun karya cipta manusia, juga bukan hasil olah spiritual para master meditasi. Tetapi energi ini adalah energi yang berasal dari Tuhan, yang diberikanNya kepada seorang manusia pilihan yaitu Muhammad bin Abdullah. Nurun 'Ala Nuurin adalah energi ketuhanan, sebagai bekal umat Nabi Muhammad SAW dalam menempuh perjalanan spiritualnya kembali kepadaNya.
“Sesungguhnya telah datang kepada kamu dari Allah, cahaya..”.
(QS. Al-Maaidah, ayat 15)
Dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan (menempuh perjalanan spiritual)( QS. Al Hadiid 57:28 )

Nurun 'Ala Nuurin adalah ikatan spiritual yang sambung menyambung, rantai berantai sampai dengan rohani Rasulullah, karena pancaran yang terus menerus dan yang selalu disalurkan dari Nuurun alaa Nuurin Yahdillahu li Nuurihi mayya syau ~ “ Nur Illahi beriring dengan Nur Muhammad, yang diberikanNya pada orang-orang yang dikehendakiNya”

Evolusi Spiritual hanya terjadi bila umat Islam telah sampai pada pelajaran Ikhsan. Makanya kita di suruh berdoa : “Tunjukilah kepada kami jalan yang lurus.” – QS Al-Fatihah (1):6. Al-fatihah adalah baca'an wajib ketika sholat. artinya yang membaca sudah Islam. Artinya, walau kita sudah beragama Islam. Kita harus menemukan jalan Shirothol Mustaqiem itu, yaitu sebuah jalan untuk menyempurnakan jiwa kita.

NABI MUHAMMAD SAW BERBADAN CAHAYA

Pada abad ke-7 atau sekitar 1400 tahun silam, kita juga mendengar suatu peristiwa maha hebat dari tanah Arab. Persitiwa itu jauh lebih mengagumkan dari satelit ataupun sputik dan benda-benda langit lainnya. Peristiwa itu dinamakan Isra Mi’raj Nabi Muhammad saw. Muhammad tidak saja menembus ruang angkasa di sekitar bulan, bahkan sudah meluncur ke ufuk yang tertinggi , melalui sistem planet, menerobos ruang langit yang luas, berlanjut terus ke gugusan Bintang Bima Sakti, meningkat kemudian mengarungi Semesta Alam hingga sampai di ruang yang dibatasi oleh ruang yang tak terbatas. Kemudian sampailah Rasulullah Muhammad saw pada Ruang yang Mutlak yang dinamakan “Maha Ruang”. Inilah yang disebut “Dan dia Muhammad di ufuk yang tertinggi” (Mudhary, 1996:21).
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah diberkahi sekelilingnya oleh Allah agar Kami perhatikan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (QS Al Isra:1).

Dalam tinjauan Agus Mustofa (2006:11), setidak-tidaknya ada delapan kata kunci yang menjadi catatan penting dan menuntut pemahaman kita menembus batas-batas langit untuk menafsir perjalanan kontroversial ini. Baiklah, jika kita mencoba untuk menguraikan makna kata-kata tersebut, maka akan menjadi seperti ini:

Catatan pertama, terdapat pada akata Subhanallah, Maha Suci Allah. Hal ini mengisyaratkan bahwa persitiwa ini sangat luar biasa. Saking spesialnya kejadian ini, Allah sendiri memuji diri-Nya dengan ucapan Subhanallah. Barangkali inilah salah satu bukti bahwa Allah adalah Maha dari segala Maha. Maha tanpa batasan ruang, waktu, bahkan massa. Sehingga lanjut Quraish Shihab (1992:338), peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas ruang dan waktu.

Catatan kedua, adalah dalam kata asraa, yang telah memperjalankan. Ini berarti bahwa perjalanan Isra Mi’raj bukan atas kehendak Rasulullah, melainkan kehendak Allah. Dengan kata lain, kita juga memperoleh ‘bocoran’ bahwa Rasul tidak akan sanggup melakukan perjalanan itu atas kehendaknya sendiri. Saking dahsyatnya perjalanan ini, jangankan manusia biasa, Rasul sekali pun tidak akan bisa tanpa diperjalankan oleh Allah.

Oleh karena itu lanjut Agus (2006:15), Allah lantas mengutus malaikat Jibril untuk membawa Nabi melanglang ‘ruang’ dan ‘waktu’ didalam alam semesta ciptaan Allah. Mengapa Jibril? Sebab Jibril merupakan makhluk dari langit ke tujuh yang berbadan cahaya. Dengan badan cahayanya itu, Jibril bisa membawa Rasulullah melintasi dimensi-dimensi yang tak kasat mata.

Pembuktian menurut ilmu Fisika lanjut Mudhary (1996;28), bahwa eter menjadi zat pembawa sekaligus pelantara daya elektromagnetik. Eter adalah udara yang ringan sekali, lebih ringan dari udara yang dihirup oleh manusia: O2. Dalam bahasa Arab disebut dengan “Itsir”. Jika eter bergetar, niscaya membutuhkan pula zat pembawa yang lebih halus lagi dari eter itu sendiri, agar getaran eter itu bisa tersebar ke mana-mana.

Sedangkan menurut Ilmu Metafisika, Rasul naik ke ruang angkasa melakukan perjalanan Mi’rajnya tentu membutuhkan zat pembawa yang lebih halus dari jiwa atau rohaninya. Oleh karena itu, makhluk hidup yang memiliki dua jasad: jasmani dan rohani, maka diperlukan zat pembawa yang lebih halus dari rohani itu sendiri dan mampu mengangkat jasmani Rasul sekaligus. Dan ternyata makhluk yang sangat halus itu bernama Jibril.

Selain Jibril, perjalanan super istimewa itu disertai juga oleh kendaraan spesial yang didesain Allah dengan sangat spesial bernama Buraq. Ia adalah makhluk berbadan cahaya yang berasal dari alam malakut yang dijadikan tunggangan selama perjalanan tersebut. Buraq berasal dari kata Barqum yang berarti kilat. Maka, ketika menunggang Buraq itu mereka bertiga melesat dengan melebihi kecepatan cahaya sekitar 300.000 kilometer per detik (Mustofa, 2006:15).

Jika seandainya kecepatan Buraq diambil serendah-rendahnya setara dengan perbandingan kecepatan elektris saja: 300.000 kilometer per detik, maka jarak anatara Masjidil Haram di Mekkah dengan Masjidil Aqsha di Palestina yang berjarak 1.500 kilometer, paling tidak memakan waktu 1/200 detik. Padahal, Buraq adalah makhluk hidup yang kecepatannya pun bisa melebihi kecepatan elektris tadi.

Pertanyaannya kemudian, bukankah kecepatan cahaya adalah kecepatan paling tinggi yang telah dihasilkan Fisika Modern? Bukankah kecepatan cahaya telah mendapat legalitas berdasarkan keputusan kongres Internasional tentang Standar Ukuran yang digelar di Paris tahun 1983: bahwa kecepatan cahaya berada dalam vakum sebesar 299.792.458 meter per detik dibulatkan sekira 300.000 kilometer per detik. Dan tentu saja, kecepatan cahaya berlaku sama bagi seluruh gelombang spektrum dan mempersentasikan batas kecepatan dalam alam fisika (Ahmad, 2006:168).

Tentu saja kecepatan setinggi itu tidak bisa dilakukan oleh sembarang benda. Hanya sesuatu yang sangat ringan saja yang bisa memiliki kecepatan yang bisa melebihi kecepatan cahaya. Bahkan, saking ringannya, maka sesuatu itu harus tidak memiliki massa sama sekali. Yang bisa melakukan kecepatan itu hanya photon saja, yaitu kuantum-kuantum penyusun cahaya. Bahkan, electron sekali pun yang bobotnya hamper nol sekalipun tidak bisa memiliki kecepatan setinggi itu.

Sedangkan manusia sendiri terkonstruksi dari satuan-satuan utama yang sangat kecil dinamakan sel. Jumlahnya sekitar 390 milyar. Sel tubuh ini tidak sama, baik bentuk, besar, maupun fungsinya. Sel-sel ini tidak terpisah satu sama lain, tetapi hidup dalam organisasi yang harmonis (Pasya, 2004:250).

Jika dilihat dari penyusunnya, maka berbagai macam sel itu tersusun dari molekul-molekul. Baik yang sederhana maupun molekul yang kompleks. Mulai dari H2O, sampai pada molekul asam amino atau proteir kompleks lainnya. Dan jika dicermati, maka molekul itu juga tersusun dari bagian-bagian yang lebih kecil disebut atom. Dan atom ini pun tersusun dari partikel-partikel sub atomik seperti: proton, neutron, elektron, dan sebagainya.

Karena manusia memiliki bobot, jangankan untuk dipercepat dengan kecepatan setingkat kecepatan cahaya. Dengan percepatan beberapa kali gravitasi bumi (G) saja, sudah akan mengalami kendala serius, bahkan bisa meninggal dunia.

Dalam ilustrasinya, Agus Mustofa (2006:17) memberi gambaran tentang seorang pilot yang melakukan manuver di angkasa. Ketika ia melakukan gerakan vertikal naik ke langit atau manuver ‘jatuh’ ke bumi misalnya, saat itu badannya akan mengalami tekanan alias beban yang sangat berat bergantung pada besarnya percepatan yang ia lakukan.

Jika pilot bermanuver ke langit dengan percepatan dua kali gravitasi bumi (2G), maka badannya akan mengalami tekanan dua kali lipat dari biasanya. Jika bobot pilot dalam kondisi normal 80 kg misalnya, maka pada saat melakukan manuver bobotnya akan menjadi 160 kg. Bahkan jika percepatannya lebih tinggi lagi, rasa ‘nyuut’ di otak akan semakin besar. Seperti orang yang jatuh bebas ke dalam sebuah sumur yang dalam. Bisa-bisa seseorang akan mengalami ‘hilang kesadaran’. Apalagi manuver pilot dengan kecepatan 5G, pilot yang tidak terlatih bisa-bisa mengalami balck out alias semaput atau pingsan di angkasa.

Jika demikian, bukankah Muhammad juga seorang manusia biasa yang memiliki struktur sama dengan pilot dalam ilustrasi tadi ketika ia melakukan perjalanan Isra Mi’raj tersebut? Lalu bagaimana jasmani Muhammad mampu menembus lapisan langit dengan bantuan kecepatan cahaya ? Apakah Muhammad di-Isra-kan dan di-Mi’raj-kan dengan jasmani dan rohaninya sekaligus? Nah.

Salah satu ‘skenario rekonstruksi’ untuk mengatasi problem ini adalah teori Annihilasi. Teori ini mengatakan bahwa setiap materi (zat) memiliki anti materi. Dan jika materi dipertemukan atau direaksikan dengan anti materinya, maka kedua partikel tersebut bakal lenyap berubah menjadi seberkas cahaya atau sinar gama (Mustofa, 2006:20).
 
Hal ini telah dibuktikan di laboratorium nuklir masih dalam buku yang sama (2006:20), bahwa jika ada partikel proton dipertemukan dengan antiproton, atau elektron dengan positron sebagai antielektronnya, maka kedua pasangan partikel tersebut akan lenyap dan memunculkan dua buah sinar gama, dengan energi masing-masing 0,11 MeV untuk pasangan elektron dan 938 MeVuntuk pasangan partikel proton.

Sebaliknya, jika ada seberkas sinar Gama yang memiliki energi sebesar itu dilewatkan medan inti atom, maka tiba-tiba sinar tersebut lenyap berubah menjadi dua buah pasangan partikel seperti di atas. Hal ini menunjukan bahwa materi memang bisa berubah menjadi cahaya dengan cara tertentu, yang disebut sebagai reaksi Annihilasi.

Nah, proses pengubahan materi menjadi cahaya terjadi sesaat sebelum perjalanan Isra Mi’raj dimulai. Kejadian ini ketika Rasul disucikan oleh Jibril di dekat sumur zam-zam. Bisa dikatakan jika proses ini adalah proses operasi hati Muhammad dengan air zam-zam.

Kenapa operasi hati? Bukan otak atau jantung misalnya? Ya, sebab hati adalah pangkal dari seluruh aktifitas badani. Bahkan Rasul mengatakan bahwa hati adalah pangkal dari segala aktifitas badani. Jika baik hatinya, maka baik pula seluruh aktifitas badannya. Begitu juga sebaliknya jika buruk hatinya, maka buruk juga segala aktifitas badaniahnya.

Bahkan, resonansi dari hati yang baik itulah kelembutan akan muncul. Bagaikan buluh perindu yang akan menghasilkan suara merdu ketika ditiup. Kenapa? Karena hati yang lembut bagaikan sebuah tabung resonansi yang bagus. Getarannya menghasilkan frekuensi yang semakin lama semakin tinggi. Semakin lembut hati seseorang, semakin tinggi frekuensinya. Pada frekuensi 10 pangkat 8, maka akan menghasilkan gelombang radio. Dan jika frekuensinya lebih tinggi misal 10 pangkat 14, maka akan menghasilkan gelombang cahaya (Mustofa, 2008:153).

Itulah agaknya yang terjadi pada diri Rasulullah saat ‘dioperasi’ oleh malaikat Jibril di dekat sumur zam-zam. Jibril melakukan manipulasi terhadap sistem energi menjadi badan cahaya. Dengan kesiapan ini, Muhammad siap untukdibawa melalui kawalan Jibril dengan mengendarai Buraq menembus batas langit hingga akhirnya berjumpa dengan Sang Pemilik Cahaya Abadi.

Catatan ketiga, terdapat dalam kata ‘abdihi, Hamba-Nya. Hal ini berarti bahwa tidak semua orang secara sembarangan mampu melakukan perjalanan Isra Mi’raj. Perjalanan fantastis yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang sudah mencapai tingkatan ‘abdihi, hamba-Nya. Atau dalam istilah Quraish Shihab sebagai insan kamil.

Catatan keempat, dalam kata laila, malam hari. Perjalanan spesial ini dilakukan pada malam hari dan bukan siang hari. Kenapa? Inilah dia bukti kebesaran Tuhan Sang Maha Gagah itu. Ia mengendalikan perjalanana Isra Mi’raj dengan apik dan sangat canggih. Apalagi alasan logis mengenai hal itu, bahwa pada siang hari radiasi sinar matahari demikian kuatnya, sehingga bisa membahayakan badan Nabi Muhammad yang sebenarnya memang bukan badan cahaya. Badan nabi yang sesungguhnya tentu saja adalah materi. Perubahan menjadi badan cahaya itu bersifat sementara saja, sesuai kebutuhan untuk melakukan perjalanan bersama Jibril. Dengan melakukannya pada malam hari, maka Allah telah menghindarkan Nabi dari interferensi gelombang yang bakal membahayakan badannya. Suasana malam memberikan kondisi yang baik buat perjalanan itu (Mustofa, 2006:25).

Sebagai gambaran sederhana, ketika di malam hari kita menyalakan radio, maka gelombang yang kita tangkap akan jernih dan lebih mudah dari siang hari. Sebab gelombang radio tersebut tidak mengalami gangguan terlalu besar yang saling bersinggungan dengan gelombang lainnya. Begitulah gambaran sederhananya, sebab waktu malam hari adalah waktu yang paling kondusif untuk perjalanan super spesial demi kelancaran perjalanan ini.

Catatan kelima, terdapat dalam kata minal Masjidil haram ilal masjidil Aqsha, dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. Perjalanan ini dimulai dari mesjid ke mesjid, sebab mesjid adalah bangunan yang memiliki energi positif. Disanalah orang-orang berusaha untuk menyucikan diri, mendekat, bahkan merapat kepada Tuhannya. Masing-masing mesjid tersebut ibarat tabung energi positif bagi perjalanan Nabi.
Masjidil Haram dan Masjidil Aqsha dijadikan sebagai terminal pemberangkatan dan kedatangan. Hal ini mirip dengan tabung transmitter dan recieveri, yang dipergunakan dalam proses perubahan badan Nabi Muhammad dari materi menjadi cahaya jauh lebih mudah. Apalagi proses itu melalui ‘operasi’ lewat pelantara Jibril yang memang makhluk cahaya. Maka semuanya berjalan dengan lancar sesuai kehendak Allah. Dia-lah yang berkehendak, sedang Jibril yang melaksanakannya (Mustofa, 2006:28).

Catatan keenam, yakni dalam kata baaraknaa haulahu, Kami berkahi sekelilingnya. Perjalanan ini adalah perjalanan yang tak lazim. Oleh karena itu Allah mempersiapkan semua fasilitas dengan keberkahan untuk menjaga kelancaran perjalanan sekali dalam sepanjang sejarah manusia.

Nah, disinilah pentingnya Allah menjaga lingkungan sekitar perjalanan Isra Mi’raj agar tidak terjadi hal-hal yang merusak. Sebab, jika badan Rasul tiba-tiba berubah menjadi ‘badan materi’ lagi saat melakukan perjalanan berkecepatan tinggi itu, maka badannya bisa terurai menjadi partikel-partikel kecil sub atomik, tidak beraturan lagi. Untuk itulah, keberkahan itu selalu ada; di setiap tempat di setiap keadaan, bahkan tak mengenal tempat, waktu, dan keadaan sekalipun.

Catatan ketujuh, terdapat dalam kata linuriyahu min ayaayaatina, tanda-tanda kebesaran Allah. Ya, tepat sekali Isra Mi’raj adalah salah satu tanda kebesaran Allah yang Maha Hebat. Dalam perjalanan itu Rasul menyaksikan pemandangan yang tidak pernah beliau saksikan sebelumnya. Terutama ketika melintasi dimensi-dimensi langit yang lebih tinggi pada saat Mi’raj ke langit ke tujuh. Tanda kebesaran dan keagungan Allah ini terhampar di jagat raya. Dan dengan tanda-tanda itu, seseorang mukmin bisa melakukan ‘dzikir sekaligus pikir’ sehingga menghasilkan kedekatan diri kepada Allah Azza wa Jalla.

Dan kata kunci yang terakhir adalah innahu huwas samii’ul bashir, sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Melihat. Ini adalah proses penegasan informasi kalimat sebelumnya. Dengan adanya kalimat ini, seakan-akan Alalh ingin memberikan jaminan kepada kita bahwa apa yang telah Dia ceritakan dalam ayat ini adalah benar adanya. Kenapa? Karena berita ini datang dari Allah, Tuhan yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka tak perlu ada keraguan tentang kisah fenomenal ini (Mustofa, 2006:41).

Begitu dahsyat peristiwa Isra Mi’raj hingga meninggalkan kesan mendalam untuk seluruh umat manusia hingga kini. Namun, dari tafsiran yang telah dipaparkan di atas, sekira dengan obat sebagai penawar penyakit, begitu pun hikmah perjalanan ini sebagai ikhtiar pembangun jiwa-jiwa yang sedang kebingungan, atau malah ‘mati’ dalam kebingungan.

Siapa pun ia jika mengira akal adalah Tuhan yang patut disembah, sains adalah Maha Guru tertinggi yang patut dipuji, maka ia bagai berada dalam dimensi yang terus memenjaranya untuk tidak menemukan kebenaran hakiki. Sebab, Kant pernah berkata (dalam avant propos Capra, 2000:xxii), bahwa ia secara meyakinkan dan sudah membuktikan jika nalar teoritis sama sekali tak mampu menangkap kebenaran metafisika. Dengan kata lain, sains tak bisa membuktikan Tuhan ada, juga tidak bisa membuktikan Tuhan tidak ada. Dengan ini, Kant sebenarnya hendak membatasi ekspansi sains, menyisakan ruang bagi iman.

Banyak tafsiran yang diutarakan para ulama terkait berita kontroversial ini. Namun, perlu menjadi catatan bahwa terlepas dari semua tafsiran: aqidah, sains, bahkan tasawuf sekalipun, ia ‘menggenjot’ penyemangat jiwa. Sebab Muhammad mampu ‘berlari’ menjadi hamba yang Insan Kamil untuk melesat menuju Tuhannya. Ia membuka diri untuk disesuaikan dan direkonstruksi demi menyempurnakan panggilan spesial Tuhannya.

Bukan saja Muhammad yang bisa ‘berlari menuju Tuhannya. Anda, saudara, dan kita semua bisa ‘berlari’ mengejar hakikat kecintaan kepada Tuhan. Hidup terlalu singkat untuk diisi dengan pergi menuju tuhan dengan cara berjalan lanjut Kang Jalal (2008:69). Kita harus ‘berlari’ sebelum waktu kita di dunia habis dan berakhir. ‘Berlari’ dari segala yang menarik perhatian kita, menuju kepada yang satu, Allah. Sebab, “Barangsiapa yang mendekati Allah sesiku, Dia akan mendekatinya sehasta. Barangsiapa mendekati Allah sambil berjalan, Dia akan menyambutnya sambil berlari” (HR. Ahmad dan Thabrani). Jika begitu, bagaimana jika kita menuju-Nya dengan ‘berlari’, seberapa dekatkah Ia kepada hamba-Nya.

Kenyataan ini menuntun kita pada adanya evolusi dari hal yang sifatnya material menuju hal yang immaterial. Membimbing kita untuk Mi’raj atau pendakian menuju tahap demi tahap hingga sampai ke hakikat kecintaan kepada-Nya. Keberadaan hierarki dan proses pendakiannya yang merupakan ajaran tarekat yang dicontohkan Plotinus sebagai tokoh madzhab neoplatonisme (Purwanto, 2008:383). Menurutnya semua berasal dari Yang Satu atau to Hen dan semuanya berhasrat untuk kembali kepada Yang Satu. Manusia dapat melaksanakan pengembalian kepada Yang Satu dengan upaya menempuh tahap demi tahap, hingga akhirnya mampu ‘berlari’ menembus penyatuan dengan Yang Satu, atau dalam istilah Plotinus disebut ekstasis.

Overall, maka bersegeralah ‘berlari’ untuk Mi’raj menuju Tuhan. Sebab Ia telah berfirman: “Oleh karena itu, bersegeralah berlari kembali menuju Allah” (QS.Al dzariyat:50). Mi’raj untuk menembus batas-batas kekotoran sifat manusia, menjemput Cahaya Ke-Tuhanan yang hanya diberikan bagi mereka yang spesial. Mereka yang berhasil menjadi pengikut Muhammad yang tidah hanya mengagumi dalam decak kagum tanpa penghayatan, tetapi penghayatan dalam pengamalan yang ikhlas.

Perjalanan yang ditempuh dari pecinta menuju yang dicintainya, hingga keadaan ini berada dalam vakum penyatuan. Cerminan penyatuan itu tertuang dalam sebuah hadits qudsi:
“Tidak henti-hentinya hamba-hamba-Ku mendekatkan diri kepada–Ku dengan melakukan ibadah-ibadah nawafil, hingga Aku mencintainya. Kalau Aku telah mencintainya, Aku akan menjadi telinganya yang dengannya ia mendengar; Aku akan menjadi matanya yang dengannya ia melihat; Aku akan menjadi tangannya yang dengannya ia memegang; Aku akan menjadi kakinya yang dengannya ia berjalan. Jika ia bermohon kepada-Ku, Aku akan mengabulkan permohonannya. Jika ia berlindung kepada-Ku, Aku akan melindungi dirinya” (HR. Bukhari).

 

MEMINTA TOLONG KEPADA LELUHUR, MENGAPA TIDAK..?

Sahabatku…sesungguhnya tak mungkin kita menjangkau Yang Mahamisteri itu tanpa melalui jembatan bakti kepada orang tua atau leluhur kita. Orang tua atau leluhur kita adalah jalur yang memungkinkan kita hadir di muka bumi. Tanpa mereka kita bukanlah apa-apa. Bahkan pada prakteknya, para orang tua dan leluhur itulah wujud ghaib tetapi nyata yang punya daya dan kuasa untuk mempengaruhi hidup kita.

Dalam konsep agama2 Semitik dikenal istilah malaikat/angel, yang punya daya kuasa dan menangani urusan2 tertentu yang terkait dengan kehidupan umat manusia. Siapakah malaikat/angel ini? Secara hakiki, mereka adalah entitas berbadan cahaya (nur). Lalu siapakah sesungguhnya entitas berbadan cahaya dalam konteks tradisi Nusantara itu? Merekalah para leluhur. Para leluhur karena kemuliaan dan perilaku luhur selama hidup, bisa menjadi mahkluk2 berbadan cahaya di alam keabadian, dengan kilau yang setara dengan kualitas spiritual mereka.

Nah, terkait dengan kehidupan kita di muka bumi…saat kita membutuhkan sebuah pertolongan..kepada siapakah seharusnya kita meminta pertolongan? Agama2 mewajibkan kita meminta kepada Tuhan. Mari kita renungkan..mengapa kita selalu meminta kepada Tuhan, sementara Dia sudah memberikan segalanya. Bukankah Tuhan Sang Pemberi Hidup sudah member kita segala bekal yang dibutuhkan untuk menjalani hidup kita? Termasuk yang telah diberikan kepada kita itu adalah wujud2 yang bisa menolong kita…..Wujud yang kasat mata dan bisa menolong kita itu, diantaranya adalah para sahabat, orang tua yang masih jumeneng di muka bumi, para tetangga….dan yang lainnya. Nah, wujud yang tak kasat mata dan secara actual maupun potensial bisa menolong kita adalah para leluhur, entitas berbadan cahaya yang ada di dimensi kehidupan yang lain. Selain titah alus di 4 kiblat yang sesungguhnya merupakan saudara kita juga….

Menurut saya, lebih pantas kita meminta pertolongan kepada mereka..sebagai bentuk interdependensi kita..bahwa sebagai sesama makhluk Tuhan kita saling tergantung dan saling membutuhkan. Saat rumah kita rusak..kepada siapa kita minta tolong? Dan siapa yang menolong kita? Faktanya yang menolong kita adalah tukang bangunan atau tetangga yang punya keahlian di bidang itu. Saat kerabat kita sakit, siapa yang kita mintai tolong dan secara factual menolong kita? Dokter atau ahli pengobatan lainnya!

Nah..apa bedanya meminta tolong kepada tetangga, kepada seorang ahli di bidang khusus, dan minta tolong kepada para leluhur? Faktanya….para leluhur itu sejatinya masih hidup. Hanya wilayah kehidupan mereka yang berbeda. Dan mereka punya daya kuasa untuk menolong kita jika kita memintanya, mirip dengan orang tua yang masih jumeneng di muka bumi. Hanya orang bodoh yang mengingkari dan tidak memanfaatkan peluang ini!

Untuk kebaikan hidup Anda semua…mulailah sambungkan diri Anda dengan leluhur! Ada banyak hal yang tidak bisa Anda kerjakan sendiri, dan hanya bisa dituntaskan melalui pertolongan para leluhur.

Pesan saya cuma satu, dalam hal meminta pertolongan kepada leluhur..Anda harus terlebih dahulu menunjukkan rasa bakti, rasa terima kasih atas peran mereka dalam kehidupan Anda, dan jangan mendikte..! Leluhur lebih tahu bagaimana cara menyelesaikan masalah Anda dan apa yang Anda butuhkan….. Terima kasih..

Jumat, 15 April 2011

Jalaludin Rumi



MENGHAMPIRI SOSOK JALALUDDIN AL-RUMI
(Menyelami Dimensi Lahiriah dan Bathiniah Rumi)

A. Pendahuluan
 
Para sufi tidaklah sekedar menukil orang-orang Persia, Kristen, Yunani atau lainnya; karena tasawuf pada dasarnya, berkaitan dengan perasaan dan kesadaran. Jiwa manusia adalah satu, sekalipun terdapat perbedaan bangsa atau rasnya. Apapun yang berkaitan dengan jiwa manusia, lewat latihan rohaniah, memang saja bisa sama, meskipun tidak terdapat kontak di antara keduanya. Ini berarti adanya benang merah di antara pengalaman para sufi, betapapun berbedanya interpretasi antara seorang sufi yang satu dengan yang lainnya sesuai dengan beragamnya budaya dimana ia hidup.
 
Tasawuf atau sufisme adalah suatu ilmu pengetahuan. Sebagai ilmu pengetahuan, tasawuf mempelajari cara dan jalan bagaimana seorang muslim dapat berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Dengan demikian, seorang sufi senantiasa mempunyai tujuan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga disadari benar bahwa ia berada di hadirat Tuhan. Dengan kata lain, bahwa intisari dari sufisme ialah kesadaran akan komunikasi dan dialog antara roh manusia dengan Tuhan dengan jalan mengasingkan diri dan kontemplasi.
Adapun kesadaran berada dekat dengan Tuhan dapat mengambil berbagai bentuk sesuai dengan kondisi sufi itu sendiri. Yakni bisa berbentuk ma'rifah, mahabbah, ittihad, hulul maupun wihdah al-wujud.
 
Untuk mencapai tujuannya (yakni berada dekat dan bersatu dengan Tuhan), seorang sufi harus menempuh jalan panjang, di antaranya melalui al-zuhd, yaitu keadaan meninggalkan dunia dan hidup kematerian, atau kata lain, meninggalkan keramaian dan mengasingkan diri dari pergaulan manusia, bahkan juga tak mau lagi berhubungan dengan manusia yang dirasa tak lagi bermanfaat, apalagi jika dapat menggangu dirinya untuk bercengkerama dengan Tuhan. Karena itu, banyak tuduhan ditujukan pada para sufi, bahwa kaum sufi lebih cenderung bersikap fatalistis dan dianggap sebagai biang keladi kemunduran Islam.
Sungguhpun demikian, banyak pula kita jumpai tokoh-tokoh sufi yang amat peduli dengan lingkungan masyarakat sekitar dan mau menyumbangkan gagasan-gagasan kemanusiaan yang mendasar, sekalipun oleh kelangsungan masa mereka terdesak ke latar belakang kesejarahan. Satu di antara sekian banyak tokoh tersebut adalah seorang sufi yang akan menjadi figur utama dalam tulisan ini, yakni Jalaluddin Rumi.
Dilihat dari luasnya wawasan dan tajamnya penglihatan pandangannya, dari tema-tema universal yang diangkat dalam setiap baris karyanya dan dari cara mengungkapkan pikiran dalam bahasa puisi yang sarat simbol, tak pelak lagi bahwa Rumi adalah seorang jenius dengan pikiran dan otak brilian. Dengan visinya yang tajam, ia mampu menerobos dinding zamannya dan mendahului beberapa abad gagasan-gagasan humanistis para pemikir besar dunia yang datang kemudian.
Makalah ini memaparkan biografi secara singkat, yang diungkapkan melalui bait-bait syair dan puisi, di mana oleh sementara orang ia dianggap sebagai pelopor yang menghidupkan kembali semangat keagamaan kaum Muslimin dan berusaha membuang jauh-jauh kesan yang selama ini merusak citra para sufi yang dianggap sebagai fatalis. Sebaliknya, ia mengetengahkan gagasan-gagasan yang penuh dinamika yang mendorong manusia untuk senantiasa berbuat, berkarya dan bekerja keras untuk menunaikan tugas kemanusiaannya yang amat berat.

B. Biografi Jalaluddin al-Rumi
 
Jalaluddin al-Rumi (604-672 M) dipandang sebagai salah seorang penyair sufi Persia yang terbesar. Memang benar bahwa sebelum dan setelahnya pun di Persia banyak terdapat para penyair sufi, namun puisinya dan makna-makna kedalaman mistis yang dikandungnya mengungguli puisi mereka semua.
Di antara para penyair yang sebelumnya ialah Abu Said ibn Abu al-Khair al-Khurasani (357-440 H), yang banyak mengubah ruba’iyyat (kuatrin) dalam perpuisian sufi; Abdullah al-Anshari (meninggal tahun 481 H), yang menggubah sebuah diwan dalam perpuisian sufi dan Majduddin Sana’i al-Ghaznawi (meninggal tahun 545 H), yang menggubah sebuah matsnawi yang dikenal Taman Hakekat (Hadiqah al-Haqiqah) maupun gubahan-gubahan lainnya. Menurut Qasim Ghani, matsnawinya tersebut dari segi kata maupun maknanya dipandang sebagai salah satu model yang indah dan langka dalam bahasa Persia. Dan ini adalah contoh puisi terbaik dari segi kebeningan dan komposisinya. Juga fariduddin al-‘Aththar (meninggal tahun 586 H), yang mempunyai karya kurang lebih sebanyak empat puluh buah, adalah tokoh penyair sufi yang paling menonjol setelah (di bawah) Jalaluddin al-Rumi.
Mengenai puisi para penyair Persia ini, ‘Abdul Wahab Azzam berkomentar sebagai berikut: “Dalam hal ini para penyair Persia memang berhasil mencapai taraf yang memmbubat heran dan kagum para penyair dari bangsa-bangsa lain. Mereka mengemukakan berbagai makna yang tampak jelas, tersembunyi, agung dan terinci, dalam berbagai bentuk yang mengagumkan dan menarik hati. Hal ini karena mereka memang menerima karunia begitu besar. Sifat sufi mereka begitu produktif serta sulit bisa termuat dalam bait-bait, lembaran-lembaran, maupun buku-buku. Sehingga seorang pembaca terkadang heran, bagaimana makna-makna tersebut bisa tampak jelas oleh mereka dan bagaimana mereka mampu mengembangkan satu makna menjadi beraneka makna. Dan bagaimana dari masing-masing makna tersebut mereka kembangkan lagi dalam berbagai bentuk yang mengagumkan, sehingga seakan kesemua itu bunga-bunga yang sedang mekar. Padahal warnanya, bentuknya, airnya dan tanahnya satu.
Jalaluddin al-Rumi nama lengkapnya Jalaluddin Muhammad ibn Muhammad al-Balkhi al-Qunuwi, lahir 6 Robiul Awwal 604 H (30 September 1207 M) di Balkh. Dia digelari al-Rumi karena dinisbatkan pada kawasan Rum, dimana dia melewatkan sebagian besar kehidupannya. Ayahnya, Muhammad adalah  seorang faqih penganut madzhab Hanafi. Karena kedudukannya yang tinggi, ayahnya digelari Sulthan al ‘Ulama (Sultan Para Ulama) dan dikenal pula sebagai Sulthan Walad. Pada tahun 609 H ayahnya sekeluarga meninggalkan Balkh, ketika Jalaluddin al-Rumi baru lima tahun dan hiduplah berpindah-pindah dari satu kota ke kota lain. Di Nishapur keluarga ini bertemu dengan Fariduddin al-‘Aththar. Sebagian riwayat menuturkan ‘Aththar menimang-nimang Jalaluddin kecil serta meramalkan bahwa anak kecil tersebut kelak akan menduduki posisi tinggi dalam tasawuf. Selanjutnya keluarga ini pindah ke Malthiyah dan tinggal di sana selama empat tahun. Setelah itu mereka ke Laranda (kini Kerman) dan menetap di sana selam tujuh tahun. Dari Laranda lalu pindah ke Qunyah, yang ketika itu menjadi ibukota dinasti Saljuk di Asia kecil, dengan sultannya ‘Ala’uddin al-Saljuki. Di kota inilah ayahnya meninggal, tahun 628 H.
Ketika ayahnya meninggal tahun 1230 M, Rumi diangkat sebagai ganti ayahnya untuk mengajar di Madrasa-i-uba'iyyat (Khudavandgar), dan sebagai penasihat para sarjana dan mahasiswa. Selain itu, ia juga berubah profesi sebagai penyiar agama. Dari ayahnya itulah Rumi memperoleh berbagai ilmu pengetahuan jamannya, terutama ilmu kalam yang cukup mempengaruhi pola pemikiran teologinya, disamping ketekunan belajarnya di berbagai tempat dan kota serta dengan beberapa tokoh besar lainnya.
Dari ayahnya itulah Rumi memperoleh berbagai ilmu pengetahuan jamannya, terutama ilmu kalam yang cukup mempengaruhi pola pemikiran teologinya, disamping ketekunan belajarnya di berbagai tempat dan kota serta dengan beberapa tokoh besar lainnya.
Jalaluddin pada awal pertamanya adalah belajar kepada ayahnya. Lalu kepada salah seorang sahabat ayahnya, Burhanuddin Muhaqqiq al-Tirmidzi. Diriwayatkan oleh Jalaluddin sendiri bahwa dia pergi ke Syams atas saran gurunya tersebut dan tinggal di sana selama beberapa tahun. Ketika itu di Damaskus tinggal seorang sufi besar, yaitu Muhyiddin ibn ‘Arabi. Namun riwayat-riwayat yang ada tidak sekali-sekali menuturkan pertemuan Jalaluddin al-Rumi dengan Ibn ‘Arabi. Setelah Burhanuddin Muhaqqiq meninggal dunia, al-Rumi pun menggantikannya sebagai guru di kota Qunyah.
Dalam fase kehidupannya ini al-Rumi menjadi seorang da’i dan faqih dan dia belum menggubah puisi serta belum lagi mengikuti suatu tarikat sufi. Pertemuannya dengan Shams-i Tabriz, seorang penyair sufi pengelana, tahun 652 H, justru menjadi arah pada kehidupan asketis dan tasawuf, meniggalkan pekerjaannya sebagai guru dan mulai menggubah puisi. Salah satu karyanya, Diwan Shams-i Tabriz, merupakan memorial bagi gurunya tersebut.
Pertemuan pertama Maulana dengan seorang darwisy yang bernama Syamsuddin Tabriz (Syamsuddin, berarti matahari agama) merupakan hal yang signifikan dalam hidupnya. Bagi Rumi Syams adalah matahari yang luar biasa, matahari yang mengubah seluruh hidupnya, membakarnya, membuatnya menyala dan membawanya ke dalam cinta yang sempurna. Pernahkah dia memimpikan matahari serupa itu? Sebuah syair berbunyi:

Citra impianmu ada di dada kami
Sejak fajar kami sudah dapat merasakan sang surya.

Jalaluddin dan Syams tak terpisahkan lagi, mereka menghabiskan hari bersama-sama dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, ketika bersama-sama menuju Cinta Tuhan.

Wajahmu bak sang mentari, Wahai Syamsuddin
Yang dengannya hati berkelana bagai awan!

Tapi hal ini tak lama. Kecemburuan warga Konya, membuat Syams pergi. Dan saat Syams kembali, warga membunuhnya. Rumi kehilangan, kehilangan terbesar yang dia gambarkan seperti kehidupan kehilangan mentari.
Tapi, suatu pagi, seorang pandai besi membuat Jalaluddin menari. Pukulan penempa besi itu, Shalahuddin, membuat dia ekstase, dan tanpa sadar mengucapkan puisi-puisi mistis, yang berisi ketakjuban pada pengalaman syatahat. Rumi pun kemudian bersabahat dengan Shalahuddin, yang kemudian menggantikan posisi Syams.
Dan era menari pun dimulai Rumi, menari sambil memadahkan syair-syair cinta Ilahi. "Tarian para darwis itulah yang kemudian menjadi semacam bentuk ratapan Rumi atas kehilangan Syams," jelas Talat.
Semua orang tahu bahwa keluarga Rumi maupun murid-muridnya tidak suka dengan perkembangan ini. Bagaimana mungkin guru besar mengabaikan tugas mengajar dan keluarganya? Bagaimana mungkin dia membicarakan masalah-masalah agama dengan seorang darwisy tak dikenal, yang tingkatannya dalam rantai mistikal inisiasi tidak diketahui oleh seorang pun? Apakah ini bukan sutu skandal besar? Apalagi darwisy yang sombong itu barangkali tidak mau repot-repot dengan kecintaan penduduk Konya kepada dirinya, yang pada gilirannya tidak suka melihat pengaruhnya pada Maulana? Syams pasti telah merasakan bahwa saat itu sedang berkembang niat jelek. Pada suatu hari ia pun menghilang dengan misterius; semisterius kedatangannya.

Namun, tiba-tiba muncul kecemburuan Tuhan
Dan mulut-mulut menjadi kasak kusuk
·    Kata Sultan Walad (VN 12)

Jalaluddin merasa patah hati. Karena tepisah dari mataharinya, apa yang dapat dilakukannya? Namun, pada saat inilah dia mulai berubah; dia menjadi seorang penyair, mulai mendengarkan musik, bernyanyi, berputar-putar, selama berjam-jam. Dia sendiri tidak tahu apa yang telah terjadi.
Dengan harapan yang tak mungkin terjadi, Maulana pergi ke Syiria. Akan tetapi kemudian “dia menemukannya dalam dirinya bersinar bak rembulan”.

Ia berkata: 
“Karena aku adalah dia,
apa gunanya mencari?
Aku sama dengan dia, zatnyalah yang berbicara!
Sebenarnya yang kucari adalah diriku sendiri, itu pasti.
Yang meragi dalam tong, bak air anggur.


Suatu keadaan jati diri yang mutlak telah dicapai dan bila dalam syair-syair yang terdahulu nama Syamsuddin selalu muncul di tengah-tengah syair, kini nama tersebut muncul sebagai takhallus, nama samaran yang dipakai Maulana untuk menandai puisi-puisinya yang penulisannya diilhami oleh hilangnya sahabat karib yang disayanginya yang akhirnya ditemukannya dalam dirinya sendiri. Sebelumnya dia telah menyadari bahwa dia tak dapat lagi menyembunyikan nama Syams dan merasa bahwa semesta Alam memuji sahabatnya:

Aku terus bernyanyi bersama orang lain
Syamsuddin dan Syamsuddin,
Bul-bul di taman-taman pun ikut bernyanyi,
ayam hutan di pebukitan

Begitulah perjalanan Maulana bersama seseorang yang telah mengubah seluruh hidupnya, membakarnya, membuatnya menyala dan membawanya ke dalam cinta yang sempurna. Dan kemudian perjalanannya tak sesingkat itu, lalu ia pun menyambung perjalanan dengan  guru yang lain.
Pertanyaan mistikus Syamsuddin Tabriz itu mengubah hidup Rumi. Dia kemudian tak lagi terpisahkan dari Syams. Dan di bawah pengaruh Syams, ia menjalani periode mistik yang nyala, penuh gairah, tanpa batas, dan kini, mulai menyukai musik. Mereka menghabiskan hari bersama-sama, dan menurut riwayat, selama berbulan-bulan mereka dapat bertahan hidup tanpa kebutuhan-kebutuhan dasar manusia, khusuk menuju Cinta Ilahiah.

C. Jalaluddin Rumi dan Karya-Karyanya
 
Puisi merupakan media ekspresi yang sangat penting bagi sufi dalam menyampaikan pengalaman cinta transendental mereka. Para sufi yakin bahwa keindahan sebuah puisi yang dalam memiliki kekuatan yang dapat membawa seseorang menuju alam hakekat dan bersatu dengannya. Karena itu Rumi menyatakan bahwa puisi adalah kias tentang alam keabadian dan kandungannya berupa hikmah yang dipetik di Taman Mawar Ilahi. Hikmah, sebagai salah satu bentuk dari keindahan spiritual tinggi, yang dapat dicapai oleh seorang penyair, terkait dengan keindahan lahir yang ditangkap oleh panca indera semaa-mata. Rumi adalah termasuk tokoh sufi yang produktif. Di samping sebagai juru da'i dan guru, dia juga aktif menulis karya-karya sufisme yang mayoritas berbentuk sya'ir atau prosa. Karena itu, wajarlah jika ia dijuluki sebagai sufi-penyair besar.
Secara ringkas, karya-karya Jalaluddin Rumi dapat diklasifikasikan menjadi 6 buah karya; 3 karya besar dan 3 karya yang relatif kecil. Adapun karya besarnya adalah sebagai berikut:
1. Maqalat-i Syams-i Tabriz (wejangan-wejangan Syam Tabriz). Karya ini berisi tentang dialog- dialog mistis antara Syam Tabriz sebagai guru dan Rumi sebagai murid.
2. Divan-i Syams-i Tabriz (lirik-lirik Syams Tabriz). Karya ini disusun Rumi saat ia berpisah dengan gurunya Syam Tabriz, yang berisi pujaan disamping untuk mengenang guru sekaligus sahabat yang dicintainya.
3. Masnav-i Ma'nawi (Matsnawi Jalaluddin Rumi). Karya ini berisi ajaran-ajaran pokok Tasawuf Rumi yang sangat mendalam. Para pengikut Rumi menganggapnya sebagai penyibak makna batin al-Qur'an. Karya ini ia sampaikan dalam bahasa puisi yang kreatif melalui apologi, anekdot dan legenda.
Karya sastra Rumi bisa dibilang sangat jamak; dalam bukunya Diwan-i Syams-i Tabriz terdapat kurang lebih 2500 lirik; dalam Masnawi sekitar 25.000 bait syair; dan Ruba'iyyat (syair empat baris) yang kira-kira 1600 barisnya adalah asli. Terjemahan dari Matsnawi ada dalam bahasa-bahasa timur (Arab, Turki, Urdu, Sindhi, Panjabi, sebagian dalam Bengali dan Pashto.
Diwan Jalaluddin al-Rumi yang terkenal adalah, dipandang begitu besar pengaruhnya, sehingga telah banyak ditulis komentar, baik yang bahasa Persia, Turki maupun Arab tentang karya ini dan sebagian isinya telah diterjemahkan ke berbagai bahasa Eropa. Selain itu, Rumi menulis lebih dari 70.000 bait syair memabukkan dalam bahasa yang bisa dipahami oleh kaum Muslim Parsi. Dia terus menerus melantunkan kepedihan perpisahan dari sang Kekasih dan kebahagiaan bersatu dengan-Nya.

Rumi menamakan karyanya Matsnawi sebagai kedai tauhid dan kefakiran dan juga tangga naik menuju kebenaran hakiki. Menurut Rumi, “Matsnawi adalah sorga kalbu, dengan berbagai mata airdan pohon-pohon yang rimbun. Di antaranya disebut kolam Salsabil oleh para salik; dan dalam pandangan mereka yang telah mencapai maqam tertinggi, Matsnawilah maqam terbaik dan tempat perhentian jiwa paling utama”. 
Sedangkan karya Rumi yang relatif kecil antara lain:
1.  Ruba'iyyat. Karya puisi Rumi yang disampaikan dalam bentuk Kuatrin (sajak 4 baris).
2. Maktubat (Korespondensi). Karya ini merupakan kumpulan surat-surat Rumi yang ditujukan kepada dan untuk membalas rekan-rekan atau para pengikutnya.
3. Fihi Ma Fihi (Di dalam apa yang ada di dalam). Karya ini merupakan ceramah tasawuf Rumi kepada para pengikutnya yang tergabung dalam tarekatnya.
Dalam karya yang satu ini merupakan curahan isi hati Rumi, kemarahannya terhadap reaksi orang-orang disekitarnya: “Bukannya menyatakan rasa syukurnya atas kehadiran pemimpin spiritual yang luar biasa itu di tengah-tengah mereka, malah mereka memberikan komentar-komentar yang negatif.


D. The Spiritual Teaching of Rumi
 
Dalam tahun-tahun setelah meninggalnya istrinya yang pertama, Maulana menikah lagi. Kira Khatun berlatar belakang Kristen. Para penulis biografi memujinya karena ketakwaannya dan melihat “Maryam yang kedua” dalam dirinya. Kira menghadiahkan dua orang anak kepada suaminya, seorang laki-laki dan seorang lagi perempuan. Maulana merayakan kehadiran-kehadiran bunga-bunga ini di taman ‘Dunia” dengan lagu-lagu dan tari-tarian ekstatis. Pada tahun ini, awal tahun 1250-an, Maulana semakin menampakkan dirinya sebagai guru, walaupun penanya masih terus menghasilkan syair.
Jumlah muridnya bertambah dan beberapa pengikutnya dari kelas atas menyalahkan Maulana kenapa menerima murid dari segala kelas sosial, termasuk wanita yang cukup banyak jumlahnya. Walaupun dia ntidak menekankan kelas sosial, tapi dia menekankan perilaku yang baik (adab).
Ketika Maulana sedang mengajar dan menulis, menyanyi dan berdo’a, menguasai keluarga dan siswa-siswanya, para muridnya mulai melakukan pendekatan terhadapnya agar menyusun suatu karya mistis Matsnawi, seperti buku-buku Sana’i dan Aththar (yang pada waktu itu mereka mempelajarinya bersamanya). Murid kesayangan Maulana< Husamuddin Syalabi, putra sebuah keluarga kelas menengah yang terhormat di Konya, meminta sang guru untuk menulis sebuah puisi didaktik untuk kepentingan para murid. Konon Maulana menanggapinya dengan membacakan selapan belas puisi pertama dari Matsnawi, yang menjadi terkenal dengan nyanyian Seruling Buluh. Dia berceita tentang kerinduan seruling kepada tempat tumbuhnya buluh dan bagaimana suaranya mengingatkan hati manusia kepada tempat asalnya, yaitu kehadiran Ilahiah.

Dimanakah aku, dimanakah puisi?
Tetapi orang Turki itu membisikku:
Hai, siapakah engkau?

Bait di atas, yang ditulis dalam bahasa Turki, mengungkapkan Sikap Maulana terhadap syairnya sendiri: dia tidak sepenuhnya mengerti bagaimana dia bisa menjadi seorang penyair. Pernyataan yang bersifat tidak menghendaki, yang ada dalam Fihi ma fihi, yang mengatakan bahwa dia menulis syair guna menghibur sahabat-sahabatnya, seolah-olah, “seseorang harus mencuci tangannya denga cara memasukkannya ke dalam daging babat karena tamu-tamunya ingin makan babat”, benar-benar mengejutkan, karena kata-kata itu keluar dari seseorang yang telah menulis hampir empat puluh ribu syair liris dan lebih dari dua puluh ribu baris syair didaktik. Tetapi harus diingat bahwa puisi, bagi banyak orag Islam yang taat, adalah sesuatu yang hampir-hampir dianggap amoral.
Bukankah pada Al-Qur’an pada surah 26 ayat 224-226 memperingatkan para penyair “yang mengembara ke setiap lembah dan tidak mengerjakan apa yang mereka katakan?” Karena puisi pada zaman pra-Islam pada umumnya sering berhubungan dengan hal-hal yang diharamkan seperti minuman anggur dan percintaan bebas. Dari sinilah Maulana mengutuk puisi sebagai suatu profesi yang paling menjijikan di negerinya. Namun sejak Cinta mencuri hati Maulana “bagaikan seekor burung elng yang menggondol seekor burung kecil,” Maulana juga para Sufi lainnya, tidak mempunyai pilihan lain. Dan seperti para sufi dari berbagai tradisi religius, Maulana mengetahui bahwa pengalaman tertinggi hati, ekstase, bersatu padu dengan Tuhan Tecinta, hilangnya kesadaran dalam pelukan spiritual, tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata manusia dan yang tak kalah pentingnya hal ini tidak boleh diungkapkan agar tidak terjadi salah paham pada orang yang belum ditahbiskan. Ayahnya telah mencoba mengungkapkan rahasia keadaan paling dekat dengan Tuhan dengan istilah-istilah yang mengejutkan beberapa orang yang membaca buku hariannya.
Namun, pengalaman spiritual sangatlah kuat hingga perlu diungkapkan, walau dengan kata-kata yang miskin, dalam paradoks yang tampaknya tak berarti sehingga, Maulana merasa, sepereti “debu di cermin Jiwa”. Namun demikian setelah syair-syair pertama yang keluar dari bibirnya, maka segera mengalir arus syair yang hampir-hampir tak terhentikan, yang lahir dari suara musik, dalam tarian berputar, yang ke tarian inilah Cinta yang kukuh menyeretnya dalam keadaan tak sadar, namun tidakkah mengherankan bahwa puisi yang dengan demikian terlahir dalam inspirasi itu benar-benar serasi dengan aturan-aturan retorika gaya Arab-Persia klasik? Sama sekali tidak. Maulana, seperti juga semua orang terpelajar di dunia Islam abad pertengahan, telah hapal ayat-ayat al-Qur’an dan mengetahui sejumlah hadits Nabi (Muhammad Saw.), karena itu dia selalu siap untuk memasukkan kutipan-kutipan ayat al-Qur’an atau hadits dalam setiap syairnya.
Dan ini bukan saja dikarenakan oleh berkecimpungnya dia dalam bidang teologi; namun juga, selain teologi, dia pun mempelajari karya-karya prosa yang bersifat agamis dan non agamais dalam bahasa Arab dan Persia serta banyak lagi karya-karya puisi lainnya.
Minatnya yang utama tampaknya adalah puisi Arab klasik. Qashidah-qashidah Mutanabbi yang memukau (wafat pada 965 H) adalah buku yang paling disukainya. Dikisahkan bahwa Syams sama sekali tidak menyukai puisi-puisi itu dan mengungkapkan ketidaksukaannya ini kepada sahabatnya dalam suatu mimpi yang aneh di mana Syams mengguncang-guncangkan Mutanabbi yang tua itu bagaikan boneka usang. Namun masih saja orang mendapati kiasan-kiasan dan kutipan-kutipan yang berasal dari Mutanabbi dalam syair-syari Maulana dan juga dalam Fihi ma fihi, seperti dalam syair penutup dari sebuah ghazal berikut ini:

Simpanlah kata-kata Persiamu, aku akan berucap
dalam bahasa Arab:
Jiwa kita dihibur oleh anggur”.

Sebagaimana yang telah dikemukakan diatas bahwa karya-karya Rumi mayoritas berbentuk sya'ir, maka untuk melacak dan mengetahui lebih jauh karakteristik sufisme Rumi perlu juga dilakukan analisa terhadap karya-karya tersebut, di antaranya adalah sebagai berikut:

"Wahai kegilaan yang membuai, Kasih !
Engkau Tabib semua penyakit kami !
Engkau penyembuh harga diri,
Engkau Plato dan Galen kami !

Dalam hal ini, Muhammad Iqbal menjelaskan bahwa Rumi masuk ke dalam madzhab Realitas Utama Sebagai Keindahan, sebagaimana Ibn Sina, yang pembawaannya terletak dalam melihat "wajah-Nya sendiri yang tercermin dalam cermin alam semesta". Karena itu, alam semesta ini bagi mereka berdua merupakan pantulan "Keindahan Abadi" dan bukan suatu emanasi seperti yang diajarkan oleh Neo-Platonisme. Juga, menurut Mir Sayyid Syarif, penyebab penciptaan ialah manifestasi keindahan, dan penciptaan yang pertama ialah cinta. Wujud Keindahan ini dihasilkan oleh cinta kasih semesta, yang instingtif-bawaan. Zoroaster dari Sufi Persia senang mendefinisikannya sebagai "Api Kudus yang membakar segalanya kecuali Tuhan".
Ekspresi-ekspresi sufisme sering berpegang pada keseimbangan antara cinta dan pengetahuan, suatu bentuk ekspresi emosional yang lebih mudah memadukan sikap keagamaan yang merupakan titik awal setiap kehidupan kerohanian Islam. Begitu pula yang dilakukan oleh Jalaluddin Rumi, ia mengekspresikannya dalam bahasa cinta. Hal itu dapat ditemukan dalam sya'irnya yang lain:


Aku adalah kehidupan dari yang kucintai
Apa yang dapat kulakukan hai orang-orang Muslim ?
Aku sendiri tidak tahu.
Aku bukan orang kristen, bukan orang Yahudi, bukan orang Magi, bukan orang Mosul,
Bukan dari Timur, bukan dari barat, bukan dari darat, bukan dari laut,
Bukan dari tambang Alama, bukan dari langit yang melingkar,
Bukan dari bumi, bukan dari air, bukan dari udara, bukan dari api,
Bukan dari singgasana, bukan dari tanah, dari eksistensi, dari ada,
Bukan dari India, Cina, Bulgaria, Saqsee,
Bukan dari kerajaan-kerajaan Irak dan Kurasan,
Bukan dari dunia ini atau yang berikutnya; dari syurga atau neraka,
Bukan dari Adam, Hawa, taman-taman syurgawi, atau firdausi,
Tempatku tanpa tempat, jejakku tanpa jejak,
Bukan raga atau jiwa; semua adalah kehidupan dari yang kucintai.

Dalama kenyataannya, perbedaan antara jalan pengetahuan dan jalan cinta bermuara pada masalah keunggulan salah satunya atas lainnya, meskipun sebenarnya tidak pernah ada pemisahan sepenuhnya antara kedua modus rohani tersebut. Pengetahuan tentang Tuhan selalu memikirkan cinta, sementara cinta mengisyaratkan adanya pengetahuan mengenai obyek cinta, walaupun itu hanya merupakan pengetahuan langsung dan renungan.
Obyek cinta rohani adalah keindahan Tuhan yang merupakan suatu aspek dari ketakterbatasan Tuhan, dan melalui obyek ini rasa cinta menjadi terang dan jelas. Cinta yang penuh dan terpadu berputar mengelilingi sesuatu titik tunggal yang tak terlukiskan, Allah Swt.
Selanjutnya menurut Rumi, cinta lebih tinggi dari kecemasan, hal ini dapat kita fahami dalam syairnya:

Sang Sufi bermi'raj ke 'Arsy dalam sekejap, sang zahid membutuhkan waktu sebulan untuk sehari perjalanan.
Meskipun bagi sang zahid, sehari bernilai besar sekali, namun bagaimana satu harinya bisa sama dengan lima puluh ribu tahun ?
Dalam kehidupan sang Sufi, setiap hari berarti lima puluh ribu tahun di dunia ini.
Cinta (mahabbah), dan juga gairah cinta ('isyq) adalah sifat Tuhan, takut adalah sifat hawa nafsu dan birahi.
Cinta memiliki lima ratus sayap, dan setiap sayap membentang dari atas syurga di langit tertinggi sampai di bawah bumi.
Sang zahid yang ketakutan berlari dengan kaki, para pecinta Tuhan terbang lebih cepat dari pada kilat.
Semoga Rahmat Tuhan membebaskanmu dari pengembaraan ini!, tak ada yang sampai kecuali rajawali yang setialah yang menemukan jalan menuju sang Raja.

Menurut Annemarie Schimmel, kekuatan Rumi adalah cintanya, suatu pengalaman cinta dalam makna manusiawi tetapi sama sekali didasarkan pada Tuhan. Ia merasa bahwa dalam setiap do'a ada rahmat Ilahi, dan ia membukanya sendiri rahmat Ilahi itu. Beserta dengan kehendak Ilahi, ia menemukan pemecahan bagi teka-teki taqdir dan mampu menjulang ke puncak kebahagiaan dari kesedihan yang paling dalam karena perpisahan. Hal ini diungkapkannya dalam sebuah syair:
"Aku terbakar, dan terbakar dan terbakar"

Selanjutnya, Schimmel mengatakan bahwa Rumi telah mengalami keindahan dan keagungan Ilahi dengan seluruh indranya. Pengalaman indrawi terpantul kuat dalam sajaknya, dan dalam sajak itu selalu terjaga keseimbangan antara pengalaman indrawi dan kasih Ilahi, sebagaimana berikut:

Lewat Cintalah semua yang pahit akan jadi manis,
Lewat cintalah semua yang tembaga akan jadi emas,
Lewat cintalah semua endapan akan jadi anggur murni,
Lewat cintalah semua kesedihan akan jadi obat,
Lewat cintalah si mati akan jadi hidup,
Lewat cintalah Raja jadi budak.

Dalam suatu kesempatan, Rumi pernah mengatakan bahwa hingga hari kebangkitan pun kita tidak mungkin bisa berbicara secara memadai tentang wajah cinta. Sebab, menurutnya, mana mungkin mengukur samudera dengan piring.
Dari beberapa syair Rumi tersebut, kita memperoleh pemahaman bahwa pemahaman atas Tuhan beserta alam semesta hanya mungkin lewat bahasa cinta, bukan semata-mata dengan kerja dan usaha yang bersifat fisik lahiriyah.


E. Kesimpulan
 
Dari liriknya di atas tampak jelas bahwa Jalaluddin al-Rumi adalah seorang penyair yang begitu diliputi perasaan cinta, yang mengantarnya kepada kefanaan ataupun penyaksian kesatuan.  Tema universal yang terkandung dalam karya-karyanya, membuat Rumi mendapat tempat khusus di hati masyarakat dunia. Tidak hanya bagi pemeluk Islam, tapi juga pememluk agama Nasrani, Yahudi dan Zoroaster. Menurutnya, semua insan di dunia harus dipandang adil dan sama.
Sampai meninggalnya, 17 Desember 1273 atau tepat pada tanggal 5 Jumadil Akhir 672 H, penggagas tarian sufi ini pergi ke haribaan Ilahi, meninggalkan ribuan karya-karyanya yang fenomenal.  Rumi tak pernah berhenti menari, karena dia tak pernah berhenti mencintai Allah. Tarian itu juga yang membuat peringkatnya dalam inisiasi sufi berubah dari yang mencintai jadi yang dicintai.
 
Dialah, Jalaluddin Rumi telah berhasil membuat corak lain dalam ajaran tasawuf yang lebih menyentuh batin manusia, karya-karyanya pun tetap hidup sepanjang peradaban manusia, karya-karyanya pun tetap hidup sepanjang peradaban manusia. Jika ingin berbicara jujur, bahwa di tengah-tengah perhelatan modern saat ini, ternyata manusia sangat haus dengan spiritualitas. Maka jalan menuju spiritualitas bisa diraih melalui kajian-kajian tasawuf. Lalu, bagaimana dengan diri kita? Sudah terbiasakah lidah kita menari dengan irama dzikir kepada Allah SWT?